Bercanda Sehat Ala Rasulullah SAW
Seseorang dilarang bercanda dalam hal-hal serius, seperti membuat undang-undang, menentukan sebuah hukum, dan dalam pengadilan.
Canda gurau sebagai obat stres tentu menjadi kebutuhan setiap makhluk bernama manusia. Islam juga tidak melarang umatnya untuk bersenda gurau dan tertawa. Namun, syariat memberikan tuntunan bagaimana harusnya seorang Muslim menyikapinya.
Rasulullah SAW sebagai suri teladan telah memperlihatkan bagaimana semestinya seorang Muslim bersenda gurau.
Beliau sendiri juga bercanda dengan keluarga dan para sahabatnya. Dengan bercanda, beliau bisa menambah keakraban, menghibur, menimbulkan kasih sayang, sekaligus memberikan edukasi positif.
Dalam suatu riwayat, seorang wanita tua mendatangi Rasulullah SAW. Ia menanyakan perihal surga. “Wanita tua tidak ada di surga,” sabda Rasulullah SAW.
Mendengar ucapan itu, si nenek pun menangis tersedu-sedu. Rasulullah SAW segera menghiburnya dan menjelaskan makna sabdanya tersebut itu. “Sesungguhnya ketika masa itu tiba, Anda bukanlah seorang wanita tua seperti sekarang.”
Rasulullah pun kemudian membacakan ayat, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.“ (QS al-Waaqi’ah [56]: 35-36). Akhirnya, si nenek tua tadi pun tersenyum.
Mungkin ada yang menilai, betapa kasarnya guyonan Rasulullah sehingga membuat wanita yang sudah tua sampai menangis.
Namun perlu dicermati, guyonan tersebut adalah suatu kebenaran, mempunyai nilai edukasi, dan sarat dengan ilmu pengetahuan.
Si nenek diajarkan suatu ilmu baru, kelak para penghuni surga akan dikembalikan seperti masa ia ketika muda.
Rasulullah SAW juga dikenal sebagai seorang suami yang hangat dalam keluarga. Suatu kali, Rasulullah SAW menantang istrinya, Aisyah RA, lomba lari. Karena Aisyah masih sangat muda, ia berhasil mengalahkan Rasulullah SAW.
Mungkin saja Rasulullah SAW hanya mengalah demi membahagiakan istrinya yang masih sangat muda itu. Ia ingin memupuk rasa cinta dan kasih sayang dengan istrinya.
Beberapa waktu setelah itu, Rasulullah kembali menantang Aisyah untuk lomba lari. Karena badannya sudah gemuk, Rasulullah pun memenangkan perlombaan itu. “
Ini pembalasan untuk kekalahan yang dulu,” sabda Rasulullah SAW.
Bagaimana mungkin seorang Rasul yang telah berusia senja dan menjadi pemimpin ummat itu malah bermain kejar-kejaran? Mungkin ada yang menilai perilaku Rasulullah kekanak-kanakan.
Mungkin juga ada yang menilai, beliau cukup egois karena tidak mau kalah dengan istrinya walau hanya sebatas lomba lari. Tetapi, begitulah Rasulullah SAW menciptakan permainan yang bisa memupuk rasa cinta dalam keluarganya.
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah RA, seorang sahabat bertanya kepada Muhammad SWA, “Wahai, Rasullullah! Apakah Engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Rasulullah SAW menjawab, “Benar. Hanya saja saya selalu berkata benar.” (HR Ahmad).
Begitulah model bercanda yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dalam bercanda, beliau tidak pernah tertawa sampai terbahak-bahak. Tertawanya hanya sampai terlihat gigi taringnya saja.
Beliau juga tidak melontarkan lelucon bohong, dusta, atau merendahkan orang lain. Beliau juga tidak berlebih-lebihan dalam bercanda. Hanya sebatas refreshing dan pelepas kesuntukan sesaat.
Seperti dipesankan Imam Nawawi, bercandanya Rasulullah SAW tidak sampai membuat martabatnya rendah. Materi yang menjadi guyonan juga tidak mengada-ada. Bahkan, sarat dengan pelajaran dan ilmu pengetahuan.
Seperti sabda Rasul, “
Celakalah bagi mereka yang berbicara, lalu berdusta supaya dengannya orang banyak yang tertawa. Celakalah baginya dan celakalah.” (HR Ahmad)
Model yang diajarkan Rasulullah sangat jauh dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Seperti, tontonan-tontonan yang semata bertujuan membuat pemirsanya tertawa. Di antaranya, lawakan yang penuh dengan materi bohong, mengada-ada, dan berpura-pura bodoh.
Bahkan, ada yang menyalahi kodrat ilahi, seperti berpura-pura menjadi banci agar orang tertawa. Padahal, laki-laki yang berpura-pura menjadi wanita atau sebaliknya mendapat laknat yang keras disisi Allah.
Kebanyakan dunia televisi menyajikan lawakan yang kasar. Kerap ditemui materi lawakan berupa olok-olokan yang merendahkan orang lain. Mereka sengaja menghina kekurangan rekan mereka hingga membuka aibnya.
Acara komedi seperti ini jelas bertentangan dengan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS al- Hujuraat [49]:11).
Imam Nawawi juga memesankan, seseorang dilarang bercanda dalam hal-hal serius, seperti membuat undang-undang, menentukan sebuah hukum, dalam pengadilan/ persidangan, ketika menjadi saksi, dan lain sebagainya.
Bercanda juga dilarang ketika situasi yang tidak tepat, seperti tempat yang terkena bencana, ketika sedang bertakziyah, atau ketika mengiringi jenazah.
Intinya, perhatikanlah situasi dan kondisi sebelum melontarkan guyonan. Seorang Muslim yang bercanda tetap memperhatikan norma-norma kesopanan. Terlalu banyak tertawa juga akan mengeraskan dan mematikan hati.
Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk lebih banyak menangis ketimbang tertawa. Maksudnya, hendaklah seorang Muslim lebih menyibukkan diri dengan muhasabah dan mengevaluasi dirinya.
Sumber: (Republika.co.id.)