12 Mei 2016

Ruginya Menjadi Pencela

Ruginya Menjadi Pencela
Oleh : Jamil Azzaini

Saat saya dan tim memunculkan ustadz Yusuf Mansur di salah satu acara televisi pada tahun 2005, saya dihujat oleh beberapa orang. Ketika itu, saya menjadi direksi Dompet Dhuafa (DD) Republika. Salah satu tugas saya adalah edukasi dan meningkatkan kesadaran orang tentang sedekah. Kami memilih ustadz Yusuf Mansur karena memang ilmunya tentang sedekah lebih simpel dan mudah dicerna.

Ada yang menelpon, mendatangi dan menghardik saya. Namun saya tetap tidak bergeming. Dan usai lebaran kemarin, saya dan keluarga datang ke rumah ustadz Yusuf Mansur. Saya diajak keliling pesantren Darul Qur’an dan mendapat cerita luar biasa tentang proyek-proyek yang sedang dikerjakan beliau. Saya hanya bergumam di dalam hati, “Kecil orangnya, besar nyalinya, besar pikirannya dan besar pula amalnya.”

Saya kemudian teringat orang-orang yang dulu menghardiknya, setelah 10 tahun berlalu menurut saya kehidupannya tiada bertumbuh. Stagnan dan masih juga senang mencela. Sungguh sangat berbeda dengan ustadz asli Betawi ini. Proyeknya mendunia, dapat banyak penghargaan internasional dan menghindari berpikir dan berkata negatif.
Dijamu makan malam oleh Ustadz Yusuf Mansyur dan istri (kiri). Bersenda gurau dan diskusi di Asrama Pesantren Darul Quran.

Setiap ada orang yang menghina dan mencelanya dia hanya berkata ringan, “Jadikan pengurang dosa dan bahan introspeksi kita.” Saat saya berkata sedikit negatif dan pesimis, ia langsung mengingatkan, “Positif kek optimis, kek. Kata-kata positif bisa mengubah banyak hal.” Saat beliau berkata negatif, saya pun berkata pendek, “Hayo!” Kami pun tertawa bersama. Saya benar-benar iri dengan lelaki yang menyemarakkan sedekah dan hafidz Qur’an ini.

Sungguh berbeda dengan nasib pencela. Mereka merasa lebih sempurna padahal semakin banyak cela dirinya yang terbuka. Sang pencela sibuk mencari kelemahan orang-orang yang dicela dan lupa menyibukkan diri dengan amalnya. Hidupnya makin galau dan untuk beberapa urusan semakin kacau.
Sang pencela sering “merasa” banyak karyanya padahal itu hanya perasaannya saja. Faktanya, tak ada karya yang bisa dinikmati banyak orang. Kalaupun ada, hanya beberapa karya yang dihasilkannya namun diceritakan berulang-ulang. Karyanya hanya satu tetapi ceritanya menggebu-gebu.
Orang-orang baik yang dicela sibuk mencari celah berbuat kebaikan. Sementara sang pencela sibuk mencari keburukan dan kelemahan orang lain. Orang yang dicela karyanya semakin menggurita sementara sang pencela karyanya sulit diketahui bahkan oleh keluarganya sendiri. Yang dicela semakin bersinar sementara sang pencela energinya semakin redup.

Coba tengoklah sang pencela di kantor Anda atau di lingkungan Anda. Bagaimana kehidupannya? Saya yakin, mayoritas miskin prestasi dan karya karena energinya tersalurkan untuk hal-hal yang tidak produktif dan tiada guna. Sungguh sangat rugi menjadi pencela. Mari berusaha untuk tidak menjadi pencela walau hanya sesaat saja.

Ruginya Menjadi Pencela Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ustad Rudi
 

Top